Pages

Burungku Bisu Sekali

Penulis : Prie GS - Budayawan dan penulis SKETSA INDONESIA

Senin, 04-Desember-2006

Sepasang burung kecil yang kubeli karena bujukan pedagangnya ini menyadarkan satu soal lagi kepadaku bahwa jangan-jangan selama ini kita salah paham terhadap kicauan burung piaraan. Jangan-jangan yang kita katakan berkicau itu adalah sebuah omelan. Jangan-jangan yang kita sangka nyanyian itu adalah sumpah serapah.

Sepasang burung kecil ini memang datang dari jenisnya yang ramai sekali. Baik gerak maupun bunyinya tak pernah berhenti. Sangkarnya yang juga kecil itu dibuat terpisah. ''Ini darurat. Nanti bisa diganti. Jika ditempatkan dalam sangkar tersendiri dan diletakkan terpisah, bunyinya akan lebih gila lagi,'' kata pedagang burung ini berapi-api.

Seluruh nasihatnya aku turuti. Ketika di rumah, burung ini aku tempatkan terpisah. Hasilnya luar basa. Kicauanya deras sempurna. Ia menyanyi tanpa henti dan menjadi sumber keheranan tetangga. Setiap barang baru yang tetangga ikut mengagumi, sungguh mendatangkan kebanggaan ekstra

Tapi baru selang beberapa hari, salah satu sangkar ini terjatuh dan rusak. Terpaksa burung yang satu diungusikan sementara ke sangkar pasangannya. Burung yang sejatinya memang sepasang ini kembali dipertemukan dalam satu kandang. Hasilnya menakutkan: keduanya langsung bisu bersama-samaa. Dari burung kecil yang lincah dan periang, seketika menjadi burung yang pemalas dan menjengkelkan. Kerjanya cuma nangkring berdampingan, mencari kutu di bulu pasangannya dan kurangajar … mereka berciuman. Burung ini, tanpa seizin sang majikan, berani menjalani cinta terlarang. Begitu asyiknya mereka bermesraan sehingga lupa tugas utamanya: menghibur majikan.

Hampir saja aku murka dibuatnya. Terngiang kembali nasihat penjual burung ini sebelumnya: dicampur di satu kandang, itulah pantangannya. Kini pantangan itu kulanggar sendiri, dan aku harus bersiap menanggung akibatnya. Maka secepatnya pantangan itu hendak kembali kujaga. Sangkar baru kusiapkan demi mengembalikan kicauannya. Dan ketika sangkar baru sudah tiba, sudah saatnya burung celaka ini dipindah paksa, mereka belum pula menyadari keadaannya.

Keduanya masih saja nangkring berhimpitan. Begitu malasnya burung-burung ini sehingga kicauan tak lagi mereka perlukan. Kicau, harga termahal dari seekor burung telah mereka lupakan oleh kesibukan pacaran. Baru benar-benar ketika mereka telah siap dipisahkan, aku merasakan perbedaan cara menentukan harga di antara kami. Aku yang menganggap mahal kicauannya pasti berkebalikan dengan burung-burung ini yang menganggapnya sebagai soal yang murah saja. Murah jika bandingannya adalah kebersamaan dan kebahagiaan mereka ketika sedang bersama-sama.

Mereka tak perlu berkicau lagi karena dada-dada mereka pasti sedang penuh oleh rasa bahagia. Aku baru bertanya sekarang, jangan-jangan kicauan yang selama ini kudengar dari paruhnya itu adalah sebuah jeritan. Burung ini bisa jadi bukan sedang menyanyi melainkan sedang memekik-mekik untuk dipertemukan dengan kekasihnya yang hilang, tetapi aku menangkapnya sebagai nyanyian. Burung ini mungkin tengah menangis meraung-raung sementara di kupingku terdengar sebagai kemerduan.

Begitu bernafsunya aku ini tehadap kegembiraanku sendiri sehingga kepedihan pihak lain kujadikan bahan baku. Kenapa ada ratapan yang kudengar sebagai nyanyian cuma karena nasfuku yang terlalu untuk kegembiraanku.

Prie GS

Gratisan

 
// Bawah ini Script Tulisan tak bisa dicopy paste